Krisis Suez
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Latar belakang
Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, didanai oleh pemerintah Perancis dan Mesir.Secara teknis, wilayah yang mengelilingi terusan ini merupakan wilayah kedaulatan Mesir, dan perusahaan yang mengurusnya, Universal Company of the Suez Maritime Canal (Suez Canal Company) adalah perusahaan mesir.
Terusah ini penting bagi Britania Raya dan negara-negara Eropa
lainnya. Bagi Britania, terusan ini merupakan penghubung ke koloni
Britania di India, Timur Jauh, Australia dan Selandia Baru.
Maka pada tahun 1875, Britania membeli saham dari Suez Canal Company,
memperoleh sebagian kekuasaan atas pengoperasian terusan dan membaginya
dengan investor swasta Perancis. Pada tahun 1882, selama invasi dan pendudukan Mesir, Britania Raya secara de facto menguasai terusan ini.
Konvensi Konstantinopel 1888 mendeklarasikan terusan ini sebagai zona netral dibawah perlindungan Britania.[7] Dalam meratifikasinya, Kesultanan Utsmaniyah setuju untuk memberikan izin terhadap kapal internasional melewati terusan tersebut, baik saat perang maupun damai.[8]
Terusan Suez menunjukan betapa strategis wilayah tersebut selama Perang Rusia-Jepang
ketika Jepang melakukan persetujuan dengan Britania. Jepang melancarkan
serangan kejutan terhadap Armada Pasifik Rusia yang berbasis di Port Arthur.
Ketika Rusia mengirim bantuan dari Baltik, Britania tidak
memperbolehkan Rusia melewati terusan. Hal ini menyebabkan armada Rusia
mengelilingi seluruh benua Afrika, memberikan waktu bagi tentara Jepang
untuk mereorganisir tentara mereka dan memperkuat posisi mereka di Timur
Jauh.Kepentingan terusan ini juga terlihat jelas selama Perang Dunia. Pada Perang Dunia Pertama, Britania dan Perancis menutup terusan ini untuk kapal non-Sekutu. Selama Perang Dunia Kedua, Terusan Suez dilindungi selama Kampanye Afrika Utara.
Pada Mei 1948, Mandat Britania atas Palestina berakhir, dan tentara Britania mundur dari wilayah tersebut. Deklarasi Kemerdekaan Israel dideklarasikan, dan ditentang oleh Liga Arab. Hal ini menyebabkan terjadinya Perang Arab-Israel 1948. Tentara Israel berhasil memenangkan perang melawan Arab, termasuk Mesir. Negosiasi perdamaian setelah perang gagal, ditambah dengan meningkatnya ketegangan perbatasan antara Israel dan tetangganya, menyebabkan meningkatnya permusuhan antara Arab dan Israel.
Akhir peperangan
Operasi yang bertujuan merebut Terusan Suez ini berhasil dari sisi militer, namun merupakan bencana politik. Bersama dengan krisis Suez, Amerika Serikat juga harus mengurus Revolusi Hongaria. Amerika Serikat juga takut akan adanya perang yang lebih luas setelah Uni Soviet dan negara-negara Pakta Warsawa lainnya mengancam untuk membantu Mesir dan melancarkan serangan roket ke London, Paris[9] dan Tel Aviv.
Maka dari itu, pemerintahan Eisenhower
menyatakan gencatan senjata. Amerika Serikat meminta invasi dihentikan
dan mensponsori resolusi di Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan
senjata. Britania dan Perancis, sebagai anggota tetap, memveto resolusi
tersebut. Amerika Serikat lalu memohon kepada Majelis Umum PBB dan mengusulkan resolusi meminta gencatan senjata dan ditariknya pasukan.[10]
Majelis Akhir peperangan
Operasi yang bertujuan merebut Terusan Suez ini berhasil dari sisi militer, namun merupakan bencana politik. Bersama dengan krisis Suez, Amerika Serikat juga harus mengurus Revolusi Hongaria. Amerika Serikat juga takut akan adanya perang yang lebih luas setelah Uni Soviet dan negara-negara Pakta Warsawa lainnya mengancam untuk membantu Mesir dan melancarkan serangan roket ke London, Paris[11] dan Tel Aviv.
Maka dari itu, pemerintahan Eisenhower
menyatakan gencatan senjata. Amerika Serikat meminta invasi dihentikan
dan mensponsori resolusi di Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan
senjata. Britania dan Perancis, sebagai anggota tetap, memveto resolusi
tersebut. Amerika Serikat lalu memohon kepada Majelis Umum PBB dan mengusulkan resolusi meminta gencatan senjata dan ditariknya pasukan.[12] Majelis Umum mengadakan "sesi khusus kedaruratan" dan mengadopsi resolusi Majelis 1001,[13] yang mendirikan United Nations Emergency Force (UNEF), dan menyatakan gencatan senjata. Portugal dan Islandia mengusulkan untuk mengeluarkan Britania dan Perancis dari pakta pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) jika mereka tidak mau mundur dari Mesir.[14] Britain and France withdrew from Egypt within a week.
Amerika Serikat juga melancarkan tekanan finansial terhadap Britania Raya untuk mengakhiri invasi. Eisenhower memerintahkan George M. Humphrey untuk menjual bagian dari "US Government's Sterling Bond holdings".
Pemerintah AS memegangnya sebagai bagian dari bantuan ekonomi terhadap
Britania setelah Perang Dunia II, dan pembayaran sebagian hutang
Britania kepada AS, dan juga bagian dari Rencana Marshall untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat.Arab Saudi juga memulai embargo minyak terhadap Britania dan Perancis. AS menolak membantu minyak bumi hingga Britania dan Perancis setuju untuk mundur. Negara NATO lainnya juga menolak untuk menjual minyak bumi yang mereka terima dari negara-negara Arab ke Britania atau Perancis.[15]
Pemerintah Britania dan pound sterling berada dalam tekanan. Sir Anthony Eden,
Perdana Menteri Britania Raya, terpaksa untuk mundur dan mengumumkan
gencatan senjata pada tanggal 6 November. Tentara Perancis dan Inggris
selesai mundur pada tanggal 22 Dessember 1956, dan digantikan oleh
tentara Kolombia dan Denmark yang merupakan bagian dari UNEF.[16] The Israelis left the Sinai in March, 1957. Umum mengadakan "sesi khusus kedaruratan" dan mengadopsi resolusi Majelis 1001,[13] yang mendirikan United Nations Emergency Force (UNEF), dan menyatakan gencatan senjata. Portugal dan Islandia mengusulkan untuk mengeluarkan Britania dan Perancis dari pakta pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) jika mereka tidak mau mundur dari Mesir.[17] Britain and France withdrew from Egypt within a week.
Amerika Serikat juga melancarkan tekanan finansial terhadap Britania Raya untuk mengakhiri invasi. Eisenhower memerintahkan George M. Humphrey untuk menjual bagian dari "US Government's Sterling Bond holdings".
Pemerintah AS memegangnya sebagai bagian dari bantuan ekonomi terhadap
Britania setelah Perang Dunia II, dan pembayaran sebagian hutang
Britania kepada AS, dan juga bagian dari Rencana Marshall untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat.
Arab Saudi juga memulai embargo
minyak terhadap Britania dan Perancis. AS menolak membantu minyak bumi
hingga Britania dan Perancis setuju untuk mundur. Negara NATO lainnya
juga menolak untuk menjual minyak bumi yang mereka terima dari
negara-negara Arab ke Britania atau Perancis.[18]
Pemerintah Britania dan pound sterling berada dalam tekanan. Sir Anthony Eden,
Perdana Menteri Britania Raya, terpaksa untuk mundur dan mengumumkan
gencatan senjata pada tanggal 6 November. Tentara Perancis dan Inggris
selesai mundur pada tanggal 22 Dessember 1956, dan digantikan oleh
tentara Kolombia dan Denmark yang merupakan bagian dari UNEF.[19] The Israelis left the Sinai in March, 1957.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar